Makna Papajar Tradisi Warga Cianjur

Setiap daerah memiliki tradisi yang berbeda-beda, dalam rangka menyambut bulan ramadhan. Seperti halnya yang ada di Kabupaten Cianjur. 

Menjelang bulan ramadhan atau penghujung bulan syaban, kebanyakan masyarakat Cianjur selalu menyempatkan diri untuk berkumpul dan mengunjungi sejumlah objek wisata. Tak lupa mereka sambil membawa perbekalan makan, untuk disantap secara bersama-sama.

Tidak hanya warga muslim yang melakukan tradisi seperti itu, mereka telah mempersiapkan diri kebiasaan yang tidak diketahui kapan dimulainya. Yang pasti mereka telah mempersiapkan segala keperluan untuk piknik bersama keluarga, tetangga, teman sekolah, atau rekan kerja. Tradisi inilah bagi masyarakat Cianjur disebut sebagai "Papajar".

Sebuah istilah yang kemungkinan tidak ditemukan dalam kamus Bahasa Sunda. Tidak hanya mendatangi tempat atau objek wisata, banyak juga warga Cianjur yang sengaja melakukan dengan kumpul keluarga, tetangga rumah sambil membawa makanan untuk disantap bersama.
Masyarakat menyadari, sebentar lagi tidak akan melakukan makan bersama di siang hari setelah tiba bulan puasa.

Tentu tidak hanya sekadar untuk makan bersama. Ada nilai lain dibalik kebersamaan itu. Acara kumpul bersama merupakan salah satu ajang untuk bersilaturahim dan saling memaafkan atas kekhilafan yang pernah dilakukan, agar pada waktu ramadhan tidak terbebani dengan rasa bersalah kepada orang lain. Bahkan tidak sedikit acara ini disertai dengan taushiyah dan berdoa bersama.

"Kita selalu lakukan papajar setiap tahun menjelang bulan ramadhan. Bersama-sama para pekerja dan keluarganya, kita ajak bareng-bareng sambil kita hiburan dan makan-makan. Ini sudah kita persiapkan jauh-jauh hari," kata Kusmiaji Kepala Pasar Cipanas saat ditemui dilokasi Kawasan Wisata Cibodas (KWC).

Papajar menurut Kusmiaji tidak lain adalah berkumpul bersama keluarga, rekan kerja dan keluarganya untuk membuat kegiatan bersama di tempat wisata. Selain makan bersama juga dilakukan hiburan musik bersama-sama. Semua itu dilakukan dengan tujuan untuk membangun kebersamaan dan menyambung tali silaturahmi.

"Kalau sebelumnya tidak saling mengenal antar keluarga, dengan papajar ini minimalnya saling tegur sapa dan saling mengenal satu sama lain. Terlebih tali silaturahmi tetap terjaga, tidak hanya dengan para pekerja saja, tapi juga sama keluarganya," kata Kusmiaji.

Sekertaris Umum Lembaga Kebudayaan Cianjur (LKC), Abah Ruskawan mengungkapkan, papajar dari sisi budaya terus menerus dilakukan setiap tahunnya. Hanya saja papajar yang terjadi saat ini lebih menekankan rasa suka cita menjelang datangnya bulan ramadhan. Kebanyakan dilakukan dengan berkumpul bersama dan bersenang-senang.

"Kita memang tidak tahu sejak kapan papajar itu menjadi kebiasaan. Tapi papajar dulu lebih menekankan pada kegiatan keagamaan menjelang bulan ramadhan, sekarang sudah bergeser. Yang masih lekat saat ini adalah menyambung tali silaturahmi. Dulu saling mendekatkan dari yang jauh, saling meminta maaf sebelum datangnya ramadhan," kata Abah dihubungi terpisah.

Karena sudah menjadi budaya, seharusnya ada peran pemerintah didalamnya. Jangan sampai berkepanjangan papajar yang awalnya bagus, bergeser kepada hal yang kurang bermanfaat.
"Pemerintah harus hadir ditengah-tengahnya. Kalau perlu ada tim papajar yang membuat rumusan, sehingga maknanya tidak melenceng jauh apa itu papajar," harapnya.
Gelar keagamaan
Papajar yang saat ini dimaknai dengan bersenang-senang mendatangi tempat wisata secara bersama-sama, ternyata sudah bergeser dari makna papajar tempo doeloe. Papajar mengandung makna filusfi yang sangat religius, dimana kala itu masyarakat Cianjur berkumpul di alun-alun depan masjid agung, sambil melantunkan ayat-ayat alquran dan sholawat.

Diungkapkan Sekertaris Majlis Ulama Indonesia (MUI) Kabupaten Cianjur, Ahmad Yani, papajar yang terjadi saat ini sudah jauh berbeda dengan papajar tempo doeloe. Papajar memiliki makna Mapag Pajar, yang artinya, masyarakat menunggu datangnya fajar pertanda tibanya bulan ramadhan.

Berdasarkan keterangan, para ulama dari berbagai pelosok penjuru Cianjur pada akhir bulan syaban berbondong-bondong ke Alun-alun Masjid Agung Cianjur. Mereka datang sambil membawa berbagai perbekalan. Kedatangan para ulama kampung itu, tidak lain menunggu kabar dari penghulu agung/gede Masjid Agung Cianjur mengenai kepastian waktu datangnya bulan ramadhan.

"Selama menunggu pengumuman atau kabar dari Penghulu Gede, para ulama kampung itu melantunkan puji-pujian seperti sholawat dan dzikir dan membaca alquran. Mereka juga makan bersama dari bekal yang mereka bawa dan saling bersilaturahmi satu sama lainnya, mereka juga menginap bersama," jelas Ahmad Yani.

Setelah diumumkan kapan puasa dimulai, para ulama itu menginformasikannya kepada umat di daerahnya masing-masing. Kaum Muslimin tidak berani berpuasa kalau belum ada pengumuman resmi dari penghulu agung, walau pada waktu itu untuk memperoleh informasi tentang awal puasa tidak semudah sekarang.

"Nah setelah mendapatkan kepastian tibanya bulan ramadhan, para ulama kampung itu pulang dan menyampaikan kepada masyarakatnya awal bulan ramadhan. Namun seiring dengan perjalanan waktu, maknanya bisa berubah papajar menjadi ajang untuk mendatangi tempat wisata bahkan ada diantaranya yang melakukan hal yang kurang sepantasnya," katanya.

Melihat tradisi yang sudah turun temurun, MUI berupaya mengembalikan papajar seperti tempo doeloe meski akan banyak tantangan. Mengingat papajar yang terjadi saat ini, sudah terlalu jauh dari makna awalnya.
"Kita tetap berupaya papajar itu rohnya harus islami, sehingga apa yang dilakukan itu tidak bertentangan dengan ajaran islam," tegasnya.

Salah satu yang ingin dilakukan agar papajar bernafaskan islami yakni dengan menggelar berbagai kegiatan keagamaan.

"Bisa dengan memaknainya ceramah keagamaan atau kegiatan yang sifatnya islami, tidak bersenang-senang apalagi mengarah ke perbuatan maksiat. Kita ingin lambat laun kegiatan islaminya lebih ditekankan, tentu butuh kerja keras dan kerja bareng semua lapisan masyarakat," katanya.

Bisry Mustofa